TEMPO.CO, Jakarta - Ancaman resesi disebut menekan pasar saham dan rupiah. Beberapa jam setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 minus 1 hingga minus 2,9 persen, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup melemah 65,27 poin atau 1,31 persen ke posisi 4.934,09 pada Selasa, 22 September 2020.
Pun dengan rupiah. Nilai tukar mata uang Garuda itu ditutup melemah 85 poin atau 0,58 persen menjadi Rp 14.785 per dolar AS dari sebelumnya Rp 14.700 per dolar AS.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan selain sentimen kasus Covid-19, proyeksi Sri Mulyani terkait pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 ikut menekan pasar. "Statement Sri Mulyani yang diberitakan media bahwa Indonesia akan mengalami resesi pada pengumuman GDP Q3 pada awal November nanti," kata dia seperti dikutip Antara.
Pada kuartal II 2020, Badan Pusat Statistik BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau minus 5,32 persen. Lalu Sri Mulyani memproyeksi kuartal III 2020 ekonomi Indonesia bakal minus 1 hingga minus 2,9 persen. Jika dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi di bawah 0 persen, secara teknikal perekonomian memasuki resesi.
Trend Perbaikan
Kendati ancaman resesi makin dekat, Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro melihat ada tren perbaikan di kuartal III 2020 dari pengumuman Sri Mulyani. Sebab, proyeksi ekonomi lebih baik dari kuartal II 2020. "Resesi itu kayak demam," kata dia.
Bayangkan ada satu orang yang demam dan suhu tubuhnya 40 derajat Celsius. Keesokan harinya, turun jadi 38 derajat Celsius. Memang dia masih demam, tapi sudah menurun. Analogi ini yang terjadi pada ekonomi Indonesia.